Kamis, 16 Mei 2013

Kisah Dibalik Mesin Kasir


Kisah Dibalik Mesin Kasir

Dengan dihiasi ruangan kaca, gelas – gelas basah yang saling bersentuhan, adonan kue yang sudah bercampur siap di tuang kan keatas wajan, wangi kopi yang harum, lemari pendingin minuman yang sudah mulai berembun. Matahari pagi yang masih segar, sehat, yang baru bangun dari tidur panjangnya. Hari – hari seperti inilah yang selalu dinikmati oleh seorang laki – laki separuh baya yang  merupakan salah satu pegawai kantin libro divisi kasir.

Dengan penuh senyum yang ramah tamah, dia melayani sekumpulan mahasiswa yang sudah antri panjang di depannya. Bahrul. 23 tahun lamanya dia sudah menginjaki kaki nya di muka bumi ini.
Kulit yang hanpir ke cokelat – cokelatan, siluet tubuh yang termasuk golongan gemuk, gigi putihnya yang berjejer rapih dan terlihat setiap kali dia melayani para mahasiswa Universitas Multimedia Nusantara.

Bahrul merupakan tulang punggung di  keluarganya dan dia mempunyai tiga orang saudara kandung. Tujuan nya mempunyai pekerjaan adalah untuk membantu kedua orang tuanya untuk menghidupi keluarga cemara.
Dengan menggunakan sebuah sepeda motor, bahrul berangkat menuju tempat kerjanya di gading serpong. Jam kerja yang cukup padat dari pukul 07.00 – 15.00 wib membuat bahrul tidak dapat leluasa memanfaatkan waktunya untuk berkumpul dengan teman – teman nya.

Bahrul sudah bekerja di Universitas Multimedia Nusantara ini selama dua tahun lamanya. Menurut bahrul, pengalaman selama dia bekerja melayani para mahasiswa lainnya sering sekali bertemu dengan pelanggan yang jutek, muka nya seperti di tekuk empat, dan bicaranya ketus.

Tetapi, dia selalu saja menaati prinsip nya dalam bekerja yaitu selalu bersikap ramah dan menebar senyum lebarnya setiap kali dia berdiri di mesin kasir. Sering juga bahrul di minta oleh rekan – rekan kerja nya menjadi back up untuk menjaga mesin kasir. 

Tragedi Mei 1998


Tragedi Mei 1998

Nama : Ervina Cecilia
Nim : 11140110227
Penulisan Feature

Panas terik, matahari yang makin menunjukan bayangnya makin tinggi, sinar nya melekat di kulit, asap dan debu kendaraan bermotor bercampur menjadi satu menghiasa langit kota Jakarta pada hari itu. Angin yang bertiup cukup kencang meniup hempasan daun – daun dan ranting pohon.

Saya yang hanya bisa duduk terheran – heran, melihat mahasiswa Universitas Trisakti Jakarta, semacam mengadakan perkumpulan yang berbondong – bondong berdiri di depan kampus mereka. Tangisan haru, nyanyian senduh pun menggema, lilin – lilin putih yang menghiasi jalanan, dan akhirnya saya pun mengetahui apa yang terjadi.
Doa dalam memperingati hari nya, tanggal bersejarah itu yang cukup menggempar kan seluruh dunia dimana orang – orang selain pribumi yang merupakan terkena korban kerusuhan 12 mei 1998 dan tragedi trisakti.

Sedih, kecewa, marah, dengki, kesal, dendam semua rasa itulah yang dapat mewakili keluarga – keluarga korban yang di tinggalkan. Seperti empaat orang mahasiswa Universitas Trisakti yang rela berkorban untuk mengadakan perubahan sistem pemerintahan Bapak Soeharto yang saat itu adalah Presiden RI 1998.

Pikiran ku kembali melayang pada 15 tahun silam, disaat masih duduk dibangku sekolah dasar. Siang hari, disaat panas teriknya matahari, saya sedang bermain bersama teman – teman sepantaran. Ditengah permainan suara teriakan mulai terdengar dari setiap sudut rumah. Ricuh.

“Vinnaaa… cepetan pulang kerumah… ayo, kita harus ngumpet dulu..!!!” ujar seorang wanita yang suaranya tidak asing lagi di telingaku.

Pada saat itu juga, saya dan beserta teman – teman yang lain langsung menghentikan permainan dan lari terbirit – birit masuk kedalam rumah. Didalam rumah kami tidak berani menyalakan lampu atau pun bersuara berisik. Suasana pada saat itu sunyi, senyap, terasa bahwa seperti tidak ada tanda – tanda kehidupan di sekitar komplek.
Tragedi Trisakti adalah peristiwa penembakan, pada tanggal 12 Mei 1998, terhadap mahasiswa pada saat demonstrasi menuntut Soeharto turun dari jabatannya. Kejadian ini menewaskan empat mahasiswa Universitas Trisakti di Jakarta, Indonesia serta puluhan lainnya luka.

Mereka yang tewas adalah Elang Mulia Lesmana (1978 - 1998), Heri Hertanto (1977 - 1998), Hafidin Royan (1976 - 1998), dan Hendriawan Sie (1975 - 1988). Mereka tewas tertembak di dalam kampus, terkena peluru tajam di tempat-tempat vital seperti kepala, tenggorokan, dan dada.

Pada 12 mei 2013, kemarin Universitas Trisakti (Usakti) memberikan masing-masing satu unit rumah kepada orangtua dari almarhum Elang Mulia Lesmana, Heri Hertanto, Hafidin Royan, dan Hendriawan Sie mahasiswa yang gugur dalam tragedi berdarah pada 1998. Rektor Usakti Thobi Muthis mengatakan, pemberian hibah rumah tersebut merupakan buah tangan sebagai bentuk apresiasi terhadap para pahlawan reformasi.

”Buah tangan kepada mereka yang telah menjadi martir demi terciptanya era reformasi. Kita harapkan agar reformasi ini menghasilkan kebajikan yang lebih baik bagi rakyatnya,” ujar Thobi, saat acara peringatan tragedi 12 Mei 1998, di Kampus A Usakti, Jakarta (12/5).

Kerusuhan Mei 1998 lalu adalah kerusuhan yang terjadi di Indonesia pada tanggal 13 Mei-15 Mei 1998, khususnya di Ibu Kota Jakarta. Namun juga terjadi di beberapa daerah lain. Kerusuhan ini diawali oleh krisis finansial Asia dan dipicu oleh tragedi Trisakti di mana empat mahasiswa Universitas Trisakti ditembak dan terbunuh dalam demonstrasi 12 Mei 1998.

Pada kerusuhan ini banyak toko dan perusahaan dihancurkan oleh amuk massa terutama milik warga Indonesia keturunan Tionghoa. Konsentrasi kerusuhan terbesar terjadi di Jakarta, Bandung, dan Surakarta. Terdapat ratusan wanita keturunan Tionghoa yang diperkosa dan mengalami pelecehan seksual dalam kerusuhan tersebut. Sebagian bahkan diperkosa beramai-ramai, dianiaya secara sadis, kemudian dibunuh. Dalam kerusuhan tersebut, banyak warga Indonesia keturunan Tionghoa yang meninggalkan Indonesia.  

Tak hanya itu, seorang aktivis relawan kemanusiaan yang bergerak di bawah Romo Sandyawan, bernama Ita Martadinata Haryono, yang masih seorang siswi SMU berusia 18 tahun, juga diperkosa, disiksa, dan dibunuh karena aktivitasnya. Ini menjadi suatu indikasi bahwa kasus pemerkosaan dalam Kerusuhan ini digerakkan secara sistematis, tak hanya sporadis. 

Rabu, 08 Mei 2013

Kepiawian Seorang Wanita Perkasa

Nama : Ervina Cecilia
NIM : 11140110227
Mata Kuliah : Penulisan Feature

Berdinding semen, cat tembok yang menunjukan ke arah warna hijau muda, terlihat kumuh tetapi bersih, lantainya berlapiskan keramik putih. Seorang karyawan yang sedang mengepel lantai yang setiap kali sudah kotor langsung dibersihkan. Dua karyawan lain diantara nya sedang sibuk menerima pesanan pelanggan yang silih berganti tanpa hentinya.

Dentangan suara benturan kuali dengan codet, gemericik suara minyak goreng. Wangi harum khas tempe goreng tepung yang sedang di masak oleh seorang ibu berkulit sawo matang, rambut keriting, warna bola mata hitam pekat layaknya orang Indonesia.

Dengan di temani tiga orang karyawan nya, setiap hari seorang ibu yang mempunyai dua orang anak. Sebut saja ibu Maman namanya. Disaat hari masih gelap dan terdengar suara burung “Tuuttuuttt…. Tuuttuutt…”
Bu Maman,,, tiga puluh tujuh tahun, sudah harus bangun dan melawan magnet kasurnya untuk mempersiapkan diri nya beraktifitas, bergulat dengan keperluan di dapur untuk usaha Warteg nya yang terletak di depan sekotr 7B.

Setiap hari nya,,, ia harus bertemankan dengan spatula, kuali, saringan, dan minyak goreng. Memang jam terbang nya sudah tak di ragukan lagi. Enam tahun lamanya, Bu Maman sudah meniti karier nya sebagai Pengusaha warteg di daerah gading serpong yang merupakan tergolong sukses.
“Ya, kita si mau jualan kecil – kecilan, ya kita semua dagang kita jalani, dari sayur – sayuran sampai akhirnya saya lari ke warung nasi… “

Sambil mengaduk – aduk tempe goreng tepung di hadapan nya, Bu Maman mulai bercerita tentang perjalanan kariernya. Pikiran nya menerawang ke masa lalu. Di mulai dari hobinya memasak, Bu Maman mulai menekuni usaha catering kecil – kecilan di rumahnya. Pelanggan pertamanya adalah karyawan Lippo Menara Asia.

Usaha nya kian berrkembang. Pelanggan setia nya semakin bertambah. Hal inilah yang membuat Bu Maman berani membuka usaha Warteg. Pelanggan setia nya tidak hanya sekitaran perumahan komplek, tetapi juga ada dari kelapa dua dan dari depan komplek gading serpong.

Bu Maman membuka usahanya dari jam delapan pagi sampai dengan jam tujuh sore.. Terkadang dia menunggu jualan nya habis. Baru bisa kembali ke rumahnya untuk beristirahat dan berkumpul bersama keluarganya.

Warung semakin ramai oleh pelanggan. Tidak hanya mahasiswa, banyak profesi lain yang datang menikmati masakan bu maman, seperti buruh, tukang becak, orang kantoran, warga sekitar dan lain – lain. Seorang karyawan bu maman, sibuk membersihkan lantai. Walaupun sederhana, Bu Maman tetap memegang teguh prinsip kebersihan warung nya.

Dua karyawan Bu maman lainnya, sibuk melayani pelanggan yang memesan makanan.
“Makanan nya tergolong murah dan banyak lagi. Pas banget buat anak kost an. Seperti saya ini.,” kata salah seorang pengunjung sambil tersenyum puas. Dihadapan nya sepiring nasi putih dengan lauk yang beragam menunggu untuk di santap oleh nya. Nasi, Kerang, dan Kikil yang sudah menjadi menu favorit nya setiap kali dia datang ke warteg Wonosari.

Baru sejam kami berbincang, lauk yang tersaji sudah habis. Bu Maman dan ketiga karyawan nya sibuk mengisi lagi wadah makanan yang telah kosong. Setiap harinya menu makanan yang tersedia di warteg Wonosari itu berganti – ganti dengan kombinasi yang tidak kalah menggoda pelanggan.

Dibalik profesi yang sekarang dia tekuni sebenarnya jauh di lubuk hatinya yang paling dalam dia adalah sosok yang berjiwa bersar.

“Ya,,, kita disini nggak mau ambil untung gede, yang penting orang – orang bisa makan seberapa pun penghasilan nya.” Ujar Bu Maman, sambil mengangkat tempe goreng tepung ke wadah saringan minyak.